Minggu, 07 Oktober 2012

Tetap Semangat Menanam Bibit Kader Dakwah

Membina adalah amal yang sangat utama.

"sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalanNya dalam barisan yg teratur, seakan-akan seperti bangunan yang tersusun kokoh (Ash-Shaff :4)

Puji syukur kepada Allah swt. yang telah menguatkan kedudukan para penolong agama-Nya. Selawat serta salam semoga tercurah kepadajunjungan kita, Nabi Muhammad saw; sesosok murobbi yang sukses sepanjang zaman... menularkan semangat dengan mengutip tulisan dari sebuah buku yang memberikan motivasi untuk para pemegang estafet dakwah, para murabbi yang luar biasa dan ana pribadi...

diingatkan lagi niy tentang materi halaqah tentang pentingnya membina,, ^^

Saking pentingnya membina, Rasulullah menghabiskan sebagian usianya untuk membina, baik dari darul arqam (mekah), maupun dimasjid nabawi (madinah), mulai dari golongan muda sampai golongan tua. inilah tugas utama dari para nabi dan para pengikutnya hingga saat ini. Membina adalah pekerjaan yang memerlukan waktu khusus dan dikhususkan. membina juga merupakan pekerjaan utama dan diutamakan. Imam asy-syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan, " pekerjaan utama seorang kader adalah sebagai da'i sebelum pekerjaan sebelumnya."
jika demikian halnya maka anugrah usia yang kita miliki adalah untuk membina, menelurkan, mengerami, menetaskan, lalu memberdayakan. sebagai seorang murabbi mengambil manfaat maka begitu pula hendaklah mutarabbi menerima manfaat. kata bersahut dan hati berpaut.

jadi, kesimpulannya adalah membina merupakan pekerjaan yang mulia, karena membina adalah pekerjaan kekasih Allah. orang-orang yang melanjutkan estafet perjuangan para rasul dalam membinapun akan mendapatkan keutamaan disisi Allah.

seorang sahabat pernah bertanya kepada umar r.a., "akankah Allah menurunkan azab kepada suatu kaum sementara disana masih ada orang yang beramal saleh?" umar r.a menjawab "iya". "kapan hal itu terjadi?" tanya sahabat itu kembali. umar menjawab, "ketika kejahatan mengalahkan kebaikan atau kejahatan lebih dominan dari kebaikan."

Membina dimaksudkan untuk menopang pilar-pilar kebangkitan umat dan menghasilkan kader-kader militan, cerdas, serta tangguh yang siap menerima estafet dakwah yg kelak dikemudian hari akan berada di genggamannya.
semoga bermanfaat.. ^__^

* sumber : Manajemen Halaqah Efektif ; M. Sajirun

Ternyata Beda looh... !!!


Antara Tunangan dan Khitbah

Di dalam masyarakat kita saat ini, kita sering mendengar istilah pertunangan sebagai salah satu proses yang ditempuh menjelang pernikahan. Kesan yang kita tangkap dari istilah ini adalah perjanjian dua orang manusia yang berbeda jenis untuk hidup dalam ikatan perkawinan. Pertunangan ini biasanya dilaksanakan setelah sekian lama berpacaran dan merasa ada kecocokan di antara kedua belah pihak. Kalau dalam pacaran baru sebatas merasa saling memiliki, dalam fase pertunangan ini keduanya sudah menjanjikan untuk hidup bersama, dalam ikatan pernikahan.

Ingat, jangan mudah tertipu, ini hanya perjanjian untuk menikah, bukan menikah. Dan ini bukan definisi, melainkan hanya sekedar kesan yang bisa kita rasakan.

Bagi sebagian orang Islam, pertunangan ini dianggap sama dengan khitbah, atau lamaran. Khitbah atau lamaran sendiri artinya adalah permintaan dari pihak lelaki kepada wali pihak wanita untuk menikahi si wanita tersebut. Memang perbedaan antara tunangan dan lamaran bagi sementara orang sangat tipis, sebab keduanya adalah sama-sama salah satu tahap pra nikah. Tetapi kalau dicermati ada perbedaan di antara keduanya yang cukup signifikan. Berikut ini adalah beberapa fakta perbedaan antara tunangan dan khitbah.

Pertama; Dalam hukum Islam, lamaran itu disampaikan kepada wali calon mempelai wanita, khususnya jika ia masih gadis. Sedangkan dalam tunangan tidak ada aturan agar tunangan itu disampaikan kepada walinya. Pernyataan tunangan itu bisa disampaikan kepada wali, ibu, kakak perempuan, atau bahkan calon mempelai itu sendiri.

Kedua, dalam ajaran agama Islam, jika lamaran itu diterima maka proses pernikahan akan diusahakan bisa dilaksanakan secepatnya. Soal rentang waktu memang relatif, tergantung kesiapan masing-masing individu. Tetapi pada umumnya tidak sampai hitungan tahun sudah kelar. Persoalan yang biasa cukup menghambat adalah persiapan resepsi yang membutuhkan dana cukup besar. Sedangkan dalam tunangan, pernikahan itu masih cukup jauh jaraknya, bahkan bisa bertahun-tahun.

Ketiga, orang yang sudah melamar seorang wanita tetap akan menjaga diri dalam bergaul dengan calon pengantin wanitanya. Karena keduanya belum terikat pernikahan maka keduanya masih haram untuk bertemu, berdua-duaan di tempat yang sepi.

Sementara kebiasaan yang terjadi pada tunangan, orang yang sudah saling bertunangan akan semakin mengeratkan hubungan mereka. Mereka akan semakin sering bertemu, kirim kabar, atau yang semisalnya. Kadang-kadang dalam beberapa hal sudah saling menanggung urusan tunangannya, seperti dalam jual beli dan hutang piiutang. Bahkan hal yang dilarang dalam masa pasca lamaran bisa dianggap boleh oleh pasangan yang telah bertunangan. Hingga tak jarang di antara pasangan yang bertunangan ini ada yang telah melakukan pola kehidupan layaknya suami isteri. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Mereka berani melakukan demikian karena merasa sudah pasti akan dilakukannya ikatan pernikahan.

Keempat, lamaran didasari tekad yang kuat untuk mengikat tali pernikahan. Untuk menambah kuatnya hasrat untuk menikah ini disyari’atkan untuk nadhar (melihat) calon mempelai sebelum adanya lamaran. Dasarnya adalah hadis nabi

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

Apabila salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, jika mampu untuk melihatnya agar mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah (HR Abu Dawud)

Adanya syari’at untuk melihat calon pasangan sebelum melamar ini karena di dalam lamaran kedua belah pihak belum akrab. Tetapi ini pun bukan sebuah persyaratan yang harus dilalui. Andaikata hanya dengan melihat foto, atau mendapat cerita dari orang kepercayaannya sudah cukup, maka dengan cara demikian pun boleh saja. Bahkan tidak melihat dan tidak mengetahui sama sekali calonnya, karena begitu tinggi tawakkalnya, itupun boleh.

Sementara pertunangan tidak akan ada ajaran nadhar, sebab sejak bertahun-tahun lamanya sudah saling melihat, saling menyapa dan bergaul, bahkan mungkin lebih dari itu. Hingga tunangan bisa dikatakan hanyalah sekedar meningkatkan intensitas “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.

Antara lamaran dan tunangan memang tipis, letak perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah pada landasan ideologis. Lamaran dilandasi oleh semangat menjalankan syari’at islam, sementara tunangan hanya dilandasi oleh rasa suka dan cinta belaka. Khitbah diatur dengan aturan Islam, sementara tunangan diatur dengan aturan adat dan tradisi belaka. Khitbah terikat dengan moral islam sementara tunangan tidak ada yang mengikatnya. Khitbah lahir dari peradaban islam, sementara tunangan lahir dari peradaban Barat.

Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang tidak peduli dengan peristilahan yang berkembang di masyarakat. Padahal bermula dari istilah itulah, kemudian tradisi-tradisi yang lain pun akan mengikuti. Kita saksikan perbedaan lagi dalam pelaksanaan lamaran yang islami, biasanya tidak ada perayaan besar-besaran. Kenapa demikian, karena masih disadari bahwa proses ini bisa berlanjut dan bisa pula batal. Tetapi dalam tunangan sebaliknya, justru dilakukan pesta besar, karena merupakan perayaan kesuksesan atas fase pertama, yakni pacaran. Karena dianggap sebagai sebuah kesuksesan, maka selayaknya diadakan pesta perayaan.

Selain perayaan yang ditandai dengan makan-makan, kadang-kadang juga terdapat acara ritual yang diimpor dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai pakaian dalam warna tertentu). Dalam Islam tidak dikenal tradisi tukar cincin, lalu saling memakai cincin tanda perkawinan. Jangankan memakai cincin perkawinan, memakai emas saja bagi kaum muslimin dilarang. Rasulullah saw bersabda

عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ وَالذَّهَبَ وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا

Dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah swt menghalalkan bagi wanita umatku emas dan sutera, tetapi mengharamkan bagi laki-laki umatku (HR an-Nasa’i)

Memakai cincin emas bagi laki-laki muslim adalah terlarang. Melakukan tukar cincin juga terlarang, sebab hal tersebut berarti meniru-niru tradisi non muslim. Rasulullah saw bersabda

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka (HR Abu Dawud)

Islam tidak pernah mengajarkan pola hubungan seperti tunangan itu. Khitbah dalam islam senantiasa diikat dengan nilai dan moral Islam. Segala bentuk hubungan antara calon lelaki dan calon wanita yang sudah melakukan khitbah adalah sama dengan hubungan laki-laki dan wanita yang tidak terikat khitbah. Hal ini haruslah menjadi perhatian kaum muslimin, agar tidak kehilangan jati diri dan budayanya. Allahu a’lam bish-shawab

Senin, 21 Mei 2012

Hukum Memakai Cincin Kawin/Cincin Pertunangan



http://maulana.web.id/hukum-cincin-pertunangan/



Orang-orang biasa memberikan cincin pertunangan kepada wanita pinangannya. Ia memegang tangan wanita itu, padahal ia masih asing baginya, lalu memakaikan cincin dijari wanita pinangannya. Begitu pula sebaliknya, wanita memakaikan cincin itu dijari peminangnya, bahkan cincin tersebut kadang terbuat dari emas. Biasanya acara ini berlangsung dalam sebuah pesta yang meriah, laki-laki dan wanita bercampur-baur. Ini semua adalah kemungkaran yang nyata terjadi. Di dalam Islam tidak ada khithbah dengan proses seperti itu, sebab tradisi ini berasal dari luar agama Islam (nonmuslim). Sebagian ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa ini adalah tradisi Fir’aun, dan sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa ini adalah tradisi kaum Nasrani. Yang perlu diperhatikan bahwa melakukan hal ini sama saja mengikuti tradisi dan sikap kaum kafir.
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda “Barang siapa menyerupai suat kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” (Hadis Sahih, riwayat Abu Daud, no. 4031; Ahmad, Vol. 2, hlm. 50. Hadis ini juga dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah, dalam Shahih al-Jami’, no. 6149)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Diantara bid’ah yang masuk dari luar dan tradisi buruk yang datang dari negeri kaum kafir dan berlaku di negeri kita adalah tradisi bertukar cincin. Yakni seorang peminang memakaikan cincin dijari peminangnya, sebagai bukti bahwa wanita itu adalah miliknya, dan ia adalah milik wanita itu.”
Tradisi ini menggambarkan aqidah trinitas yang ada dalam agama Nasrani. Saat mempelai pria Nasrani memakaikan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia berkata, “Atas nama Bapa”. Kemudian ia memindahkannya ke jari telunjuknya sambil berkata, “Atas nama Putra “. Setelah itu, ia memasukkannya ke jari tengahnya seraya berkata, “Atas nama Ruh Kudus”. Dan ketika membaca “Amin”, ia memasangkan cincinnya di jari manis pasangannya.
Angela Talbott, salah satu staf redaksi majalah The Woman yang terbit di London, edisi 19 Maret 1960, hal 8, ia menjawab pertanyaan “Mengapa cincin pernikahan dipasang di jari manis tangan kiri?”. Angela Talbott menjawab dengan menulis, “Di jari manis tangan kiri ini ada satu syaraf yang berhubungan langsung dengan jantung. Asal muasal lain dari tradisi ini adalah, saat mempelai pria memasukkan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia mengucapkan, ‘Atas nama bapa’. Kemudian sambil memasukkan dijari telunjuknya , ia berkata, ‘Atas nama Putra’. Dan saat memasang di jari tengahnya, ia berkata, ‘Atas nama Ruh Kudus’. Terakhir, ia memasangkannya di jari manis istrinya hingga tetap di sana seraya mengucapkan, ‘Amin’”. (Syaikh al-Albani rahimahullah, Adab az-Zifaf, hlm. 212-213)
Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat bahwa hukum memakai cincin pertunangan ini paling sedikit adalah makruh, sebab ini adalah tradisi yang diambil dari nonmuslim. Setiap muslim hendaknya menjauhi dari tradisi ini. Jika hal ini diikuti keyakinan bahwa cincin pertunangan dapat memperkuat hubungan suami istri, sebagaimana diyakini orang-orang, hukumannya lebih berat karena masalah cincin tidak ada hubungannya dengan masalah hubungan suami istri.
Pasangan suami istri yang mengenakan cincin pertunangan atau pernikahan, pada kenyataannya ada yang masih bisa berpisah dan bercerai. Sebaliknya hal ini kadang tidak terjadi pada pasangan yang tidak memakai cincin pertunangan atau pernikahan, bahkan hidup mereka tetap harmonis dan langgeng. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm 362)
Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah mengatakan bahwa memakai emas bagi kaum lelaki, dalam bentuk cincin atau yang lain, hukumnya haram karena Nabi s.a.w. telah mengharamkan emas bagi kaum laki-laki umatnya.
Beliau pernah melihat seorang lelaki mengenakan cincin emas, lalu beliau melepas dari tangannya. Beliau bersabda “Seseorang dari kalian sengaja mengambil sepotong bara api neraka, lalu menaruhnya di jari tangannya” (Hadits sahih, riwayat muslim, Kitab al-Libas wa az-Zinah, no. 2090)
Jika saat memakai cincin pertunangan atau cincin  pernikahan diikuti keyakinan bahwa cincin itu dapat mempengaruhi hubungan suami istri, ini termasuk kemusyrikan. Karena menganggap bahwa cincinlah yang menentukan kelanggengan hubungan suami istri, padahal tak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Hlm. 363)
Daftar Pustaka:
Syaikh Mahmud al-Mashri, “az-Zawaj al-Islami  as-Sa’id”

#wallahu'alam bishowab

Minggu, 08 April 2012

Hama-hama Amal

Sebagaimana tumbuhan, amalpun terancam hama. Riya (beramal untuk dilihat), ujub (kagum diri), sum'ah (beramal untuk populer/didengar), mann (membangkit-bangkit pemberian) adalah hama yang akan memusnahkan amal. Seorang aktifis yang mampu berkorban dengan semua yang dimilikinya harus mengimunisasi amalnya agar saat hari perjumpaan kelak tak kecewa karena amalnya menjadi Haba-an mantsura (debu yang berterbangan).
"Mereka membangkit-bangkit kepadamu keislaman mereka (sebagai jasa). katakanlah : Jangan kalian bangkit-bangkit keislaman kalian kepadaku, bahkan sesungguhnya Allah-lah yang telah memberi karunia besar kepadamu karena Ia telah membimbing kalian untuk beriman, jika kalian adalah orang-orang yang benar". QS. 49 :17. Tidak serta merta rasa beban berat dalam beramal berubah jadi kesukaan. kata kuncinya terletak pada : Pemaksaan, Pembiasaan dan akhirnya menjadi Irama Hidup. Junaid Albaghdadi mengatakan : "selama 40 tahun kusembah Allah, ditahun ke 40 otulah baru kutemukan lezatnya."
Pelipat gandaan kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan para sahabat tak dapat dikejar generasi manapun. bayangkan, hanya dalam dua dekade saja telah terjadi perubahan yang sangat mendasar pada pola sikap, pandangan hidup dan tradisi bangsa arab dan bangsa-bangsa muslim lainnya. Kerja besar taghyir (perubahan) ini sukses seperti ungkapan Sayyid Quthb dalam Maalim fit Tharriq berkat komitmen mereka yang menuntut ilmu bukan sekedar untuk mengoleksi ilmu, putus dari jahiliyah kemarin dan menghayati hidup baru dalam Islam, tanpa keinginan sedikitpun untuk kembali ke kancah jahiliyah dan bersiap siaga menunggu komando Al Qur'an seperti prajurit siaga menunggu aba-aba komandan. 


sumber : Untukmu kader Dakwah; Ust. Rahmat Abdullah

Tersenyumlah Wahai Hati Yang Bersedih. !

anak gajah

Ibu

Kerajaan semut.avi